MAKASSAR, KATABERITA.CO – Yayasan Kareba Baji Sulawesi Selatan terus mendorong penyembuhan pasien yang menderita penyakit Tuberkulosis (TBC).
Salah satunya dengan memberikan pendampingan agar penderita TBC mau berobat. Tidak lagi takut akan stigma ataupun diskriminasi yang akan diterima dari masyarakat.
Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan mencatat terduga TB pada 2020 sebanyak 62.839. Namun hanya 57.171 pasien yang melakukan pemeriksaan.
Kondisi ini yang mendorong Yayasan Kareba Baji Sulawesi Selatan untuk memberikan pendampingan dan motivasi pada pasien agar mau menjalani pengobatan TBC Resistan Obat (TBC RO).
TBC RO merupakan infeksi Tuberkulosis yang menyerang tubuh disebabkan bakteri Mycobacterium Tuberkulosis yang kebal obat akibat pengobatan yang tidak benar.
Perjuangan Yayasan Kareba Baji meningkatkan semangat pasien dalam memulai pengobatan tidak gampang. Bahkan, tak jarang para pendampin mendapat penolakan.
Pengalaman itu diutarakan Dewa, salah satu pendamping Yayasan Kareba Baji. Dia menceritakan salah satu pengalaman yang paling berkesan saat mendampingi penderita TBC RO berinisial N (31).
N yang berprofesi sebagai tukang jahit berjuang melawan penyakit TBC RO disertai diabetes militus. Dia tinggal bersama suami dan ketiga anaknya yang masih sangat kecil di daerah padat penduduk.
Dia bahkan menyembunyikan penyakitnya dari orang sekitar karena takut akan stigma dari masyarakat. Termasuk beberapa kali memberi penolakan saat akan didampingi Yayasan Kareba Baji.
“Setelah kunjungan keenam baru kita berhasil meyakinkan N untuk berobat,” singkat Dewa, Jumat (26/11).
Kata Dewa, penolakan N bukan tanpa alasan. Ada banyak faktor yang menjadi kendala sehingga N enggan berobat.
Mulai dari faktor ekonomi, takut terkonfirmasi positif Covid-19, hingga trauma akan sikap seorang oknum petugas kesehatan.
Kepada Dewa, N mengaku sempat mendapat perlakuan diskriminatif dan respon yang kurang menyenangkan dari petugas kesehatan saat menerima hasil pemeriksaan TBC.
“Perlakuan itu juga diterima anaknya saat berobat di rumah sakit. Itu alasan kenapa N tidak lagi mau berobat di rumah sakit dan hanya percaya pada dokter praktik mandiri,” ujar Dewa.
Pengalaman tersebut yang mendorong Dewa yang juga merupakan penyintas untuk tidak pantang menyerah mendampingi N menjalani pengobatan meski sempat mendapat penolakan berkali-kali.
Sebagai seorang penyintas menjadi pendamping adalah panggilan hati Dewa. Apalagi tidak mudah bagi seorang penderita TBC untuk minum obat dalam kurun waktu yang relatif panjang.
Namun Dewa berhasil membuktikan bahwa pendampingan mampu membuat penderita TBC RO sembuh total. Itu sesuai dengan pengalaman yang dia dapat saat menderita TBC.
“Pasien dapat sembuh total jika menjalani pengobatan secara rutin dan tuntas. Namjn tidak jarang efek samping yang berat membuat pasien kadang ingin berhenti. Disinilah peran pendamping untuk memotivasi pasien menyelesaikan pengobatan,” papar Dewa.
Dewa menyebutkan dalam upaya meningkatkan kesadaran TBC para relawan menggunakan pendekatan komunikasi motivasi. Mereka menempatkan pasien layaknya seorang keluarga.
“Relawan ini memberikan motivasi selama pendampingan berdasarkan pengalaman sebagai mantan pasien,” ungkap dia.
Sementara, penderita TBC RO berinisial N mengaku bersyukur bisa mendapatkan pendampingan pengobatan dari Yayasan Kareba Baji Sulawesi Selatan.
“Apa jadinya kalau saya terlambat berobat, bagus ini program karena dilacak pasien. Terima kasih karena sudah mendampingi, saya jadi semangat kembali berobat,” ucap N.